Selasa, 23 Maret 2010


 INI BUKAN SALAH MU, NAK..

Semuanya tampak berbeda. Sorot lampu yang berlebihan terangnya, tata letak yang carut-marut—yang kata orang adalah bagian dari seni, apalagi iring-iringan musik yang disetel terlampau keras. Menyeramkan, batinnya. Mungkin karena keadaan ini asing baginya, tujuh tahun tak ikut ambil bagian dari pentas seni teater. Hanya ada satu alasan baginya sanggup berdiri di pemandangan yang tak ia sukai ini, anaknya. 
Ia termangu menatap panggung mewah tersebut. Kini ia berada di alam lamunannya. Memutar kembali kenangan-kenangan yang hampir tak pernah ia jamah untuk diceritakan bahkan hanya untuk diingat.
            Menjadi seorang seniman merupakan impian Ratri kecil. Sukses dari karya-karya indah, disanjung, dan membahagiakan orang yang menonton hasil karyanya adalah satu-satunya hal yang memberi semangat. Ratri kecil mengusahakannya sungguh-sungguh guna mewujudkan mimpinya. Akan tetapi masa depan yang ia harapkan berbeda dengan kenyataan.
Tujuh tahun terakhir Ratri tak lagi menjadi seniman, setelah ditinggal kawin oleh suaminya yang tak bertanggungjawab. Ratri harus bekerja lebih keras untuk Rini, anak satu-satunya. Penghasilan sebagai seorang seniman tak banyak membantu menopang hidup dua orang, apalagi sekedar menjadi seniman musiman. Jadi ia memutuskan untuk membuka usaha jahitan di rumah disambi dengan keralaannya bekerja di sebuah rumah makan pinggir jalan besar. Sewaktu-waktu Ratri juga menerima pesanan kue.  
“Ibu, terimakasih Ibu mau menemani Rini latihan untuk hari ini. Rini jadi lebih merasa semangat”, kata Rini mengganggu otaknya yang sedang berusaha keras menyusun kepingan-kepingan ingatan. Rini telah selesai latihan.
“Sama-sama. O ya, kapan kamu dan kawan-kawanmu tampil?”. “Seminggu lagi, Bu. Aku sudah tidak sabar menanti datangnya hari itu”, kata anaknya sambil tersenyum girang yang kemudian ditimpali dengan desahan lesu Ratri.
☺☺☺
            “Ibu, Rini pergi dulu ya. Huft, kurang empat-puluh-lima menit. Rini bisa terlambat sekolah nih”, teriak Rini dari teras rumah pagi-pagi setelah melongokkan kepala melihat jam dinding yang tergantung di ruang keluarga.
            “Apa Kamu tidak sarapan dulu? Ini kan masih pagi. Biasanya juga Kamu berangkat jam tujuh kurang lima”. Memang, jarak rumah dengan sekolah yang berada tepat di dekat plang bertuliskan JL.DUA KAMBING sangat dekat.
            “Tidak, Bu. Pagi ini Rini ada pengarahan dari pelatih drama. Jadi Rini harus datang pagi-pagi. Ya, sudah ya, Bu. Rini pergi dulu. Assalamualaikum”, ucapnya sambil lalu. Dua minggu belakangan, Rini memang lebih fokus ke ekstrakurikulernya, drama. Ini memang bukan masalah bagi Ratri apabila nilai-nilai anak gadisnya itu tidak jeblok. Tapi entah mengapa, timbul perasaan jengkel apabila Rini menyebut-nyebut kata teater, drama, atau pertunjukan.
☺☺☺
            Tiiit… tiiit…tiiit… suara telepon rumah berdering semakin keras. Ratri menghampirinya terburu-buru setelah meninggalkan beberapa meter kain yang sedang diukur.
            “Halo, selamat siang?”, jawabnya ramah.
            “Siang, bisa bicara dengan ibu Ratri? Saya dari kepolisian”, kata seorang perempuan dengan suara besar dibuat-buat.
            “Kepolisian?”
            “Ya, saya menelpon karena ini menyangkut anak Ibu”, ujar perempuan itu disambut degup jantung Ratri.
            “Ada apa? Kenapa dengan anak saya? Anak saya kena masalah apa?”
            “Tenang, Ibu. Saya hanya mengabarkan bahwa anak ibu tidak dapat pulang seperti biasanya karena ada latihan drama”
            “Rini!!!”, sergah Ratri sadar.
            “Maaf, Ibu. Rini hanya bercanda. Tapi akting Rini bagus, kan?”, selidiknya sambil menahan tawa.
“Lain kali Kamu tidak boleh melakukannya lagi”, Ratri sedikit marah.
“Iya, Bu. Mmm, Bu, hari ini Rini pulang agak malam. Rini ada latihan drama”, ujarnya menimpali.
“Tidak, hari ini kamu tidak boleh latihan!”. Rini agak sedikit kaget mendengar ucapan ibunya.
“Tapi, Ibu. Kenapa? Rini mohon, Bu. Ijinkan Rini. Hari ini gladi bersihnya”, kata Rini memelas, memohon keajaiban datang. “Aku mohon, Ibu. Hari ini hari penting”.
Ratri hanya diam termangu mengutuk diri atas perbuatannya sendiri. Egois, ucapnya dalam hati.
☺☺☺
            Kenapa aku ini? Kenapa aku begitu jengkel saat tahu Rini akan tampil? Sebelumnya aku tak pernah begini. Ucapnya dalam hati sambil menatap kosong layar televisi suatu melam menjelang pertunjukan Rini. Apa aku masih dendam dengan Jono? Hhh, rasanya tidak. Aku telah berhasil melupakannya. Jangan-jangan, aku iri. Tidak, tidak mungkin. Tapi apa iya?
            “Assalamualaikum, Bu”, ujar Rini memecah kesunyian. Ratri tergagap kaget. “Wallaikum sallam”, jawabnya pelan sambil mengganti-ganti saluran TV. Rini mendekatinya, dengan senyum mengembang, ia berusaha menceritakan sesuatu.
            “Ibu, tadi waktu latihan, pelatihku memuji-mujiku terus. Dia bilang aku punya bakat akting yang hebat. Dia juga berkata kalau pertunjukan ini akan sukses”, ujarnya dengan memberi intonasi tinggi di akhir kata. Ratri hanya diam dan tetap memandangi TV. Rini, yang merasa diacuhkan, menyenggol bahu ibunya agak keras. Ratri hanya menoleh, menatap mata anaknya, tersenyum dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
            “Ibu kenapa? Ibu sakit?”, tannyanya  curiga yang dijawab dengan satu gelengan.
 ☺☺☺
Kurang dua hari, ujar Ratri seraya melihat kalender yang tergantung di dinding dapur rumah makan tempatnya bekerja. Ia menatap angka 16 di kalender bulan Agustus itu. Menatapnya dengan penuh harap, semoga sesuatu membatalkan pertunjukan itu. Tapi, sekali lagi ia segera keluar dari alam egoisnya, ia sadar. Apa yang aku lakukan? Ia anakku, anakku satu-satunya. Dan aku harus mendukung segala sesuatu yang membahagiakannya, ujarnya dalam hati.
Sementara itu, Rini duduk lesu di atas bangku taman sekolahnya, menatap foto ibunya dalam dompet coklat kesayangannya. Kenapa ibu begitu melarangku untuk ikut pertunjukkan? Apa ibu kurang yakin bahwa extrakurikulerku tidak akan mengganggu pelajaranku? Apa aku kurang menunjukkan bahwa aku masih dapat belajar walau pertunjukkanku hampir tiba?, tanya Rini dalam hati.  
“Kurang dua hari, dan aku harus bisa membuktikan kepada ibu kalau aku masih bisa mendapat nilai bagus dengan caraku sendiri”. “Ya, benar. Bukankah hari ini ada ulangan Kimia?”, ujarnya lagi sambil mengingat-ingat tentang ulangan kimianya. “Aku harus bisa dapat nilai sempurna di ulangan hari ini”, ujarnya lagi menutup kesedihannya.
☺☺☺
Malam terlalu dingin untuk ditantang. Pepohonan di luar saksinya, terlalu seram untuk keluar rumah malam itu. Angin bukan lagi angin semilir seperti biasanya. Tak ada pula bulan malam itu, hanya tiga buah bintang menggantung sendirian.
Malam itu, terlalu gila bagi Rini untuk menyapa ibunya. Setelah mendapati ibunya tidak membalas senyumnya tadi siang sepulang sekolah. Seolah dia orang asing yang menyapa ibunya di jalan.
Malam itu rumah terlalu sepi. Rini mengungsi ke dalam kamar. Menatap keluar jendela, melamun sambil memegangi amplop surat undangan. Bisa ditebak dia sedang punya masalah, dan bisa ditebak pula apa masalahnya. Apa surat ini kuberikan kepada ibu sekarang? Apa ini saat yang tepat? Tapi, melihat sikap ibu tadi siang, aku tidak yakin akan memberikan surat ini sekarang. Mungkin kurang tepat apabila aku menyerahkannya pada ibu. Aku akan menaruhnya di atas meja makan saja, kata Rini bingung.
Sementara itu, Ratri duduk diam di ruang menjahitnya, bekas ruang kerja mantan suaminya. Dia sedang memikirkan benar-tidaknya perbuatan yang ia lakukan akhir-akhir ini. Bagaimana ini? Satu sisi hatiku tak mengijinkan Rini tampil, tapi di satu sisi aku sayang padanya. Aku menginginkan yang terbaik untuknya. Lagi pula aku tidak berhak melarangnya tampil apabila itu tak mengganggu jatwalnya, kata Rini dalam hati menyalahkan perbuatannya. Tapi, aku pun manusia biasa, rasanya iri sekali melihat Rini bisa terjun dalam dunia yang tujuh tahun lalu aku tinggalkan. Apalagi, aku melakukan itu semua gara-gara bapaknya Rini. Sebal sekali ketika tahu Rini akan tampil, kata Ratri lagi untuk membenarkan perbuatannya. Tapi mungkin, ada baiknya aku tak mengutamakan egoku. Akun seorang ibu, ujarnya menarik kesimpulan.
☺☺☺
Hari itu tepat tanggal 16, hari yang sangat penting. Hari yang seharusnya indah dan memberi semangat kepada Rini. Hari yang diawali perasaan was-was.
“Selamat pagi, Rini”, sapa seorang yang tak asing ketika ia beranjak keluar kamar. “Bukankah hari ini hari pentingmu?”
“Apa Ibu telah membaca surat itu?”, tanyanya khawatir.
‘Tentu saja. Bukankah Kau memang segaja menaruhnya di situ?”, kata Ratri dengan senyum yang Rini rindukan.
“Dan apa Ibu setuju untuk datang dan melihat penampilanku? Tapi apabila Ibu sibuk, tidak apa-apa”, ujarnya dengan senyum yang dipaksakan.
“Tentu ibu setuju. Bukankah ibu selalu mengatakan bahwa ibu akan mendampingimu di setiap kesempatan?”, jawab Ratri meyakinkan anaknya bahwa tak ada masalah apa-apa dalam hidupnya.
“Terimakasih, Ibu”, kata Rini membalas senyum ibunya yang mengembang.

Tata letak panggung—dengan tulisan-tulisan berukuran besar bertema perjuangan dan kemerdekaan, sorot lampu dan iring-iringan musik yang Ratri perhatikan sebelumnya, semua tampak sama. Yang berbeda hanyalah perasaan rela menghargai perubahan tersebut yang baru muncul tadi malam. Ia, hari itu bertemu dan saling menukar salam dengan sesama orang tua murid yang hadir di aula tersebut.
Di belakang panggung, Rini bersiap-siap. Setelah memakai kostum, berdandan dan mengahafal sekali lagi dialognya, ia berdoa. Seraya mengingat senyum ibunya tadi pagi, ia memasuki area panggung dengan sangat bersemangat. Rini memerankan perannya dengan sangat sempurna.
Di bangku penonton, seorang ibu yang duduk di samping Ratri menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, membicarakan gadis cantik yang sedang berdiri elok di atas panggung. Tampaknya, ibu itu suka menggosip. Ratri pun mendekatkan telinganya untuk menguping. “Cantik sekali, aktingnya pun sangat bagus”, ujar ibu muda itu. Senyum dan tawa kecil terpasang di bibir Ratri mendengar ibu muda itu membanggakan anaknya. Kemudian terdapat suara lain yang mengganggu tawanya.
“Bagus sekali penampilan Rini, Bu. Dia memang anak yang mempunyai bakat” ujar seorang ibu dengan tanda pengenal tergantung di kantong bajunya. Ibu Yua? Bukankah ia guru Kimia Rini?, batinnya setelah melirik tanda pengenal itu.
“Trimakasih”, jawab Ratri malu-malu.
“Dia anak yang berbakat, Bu. Selain pandai akting, Rini juga pandai dalam pelajaran. Kemarin, waktu diadakan ulangan, ia medapat nilai yang sempurna. O ya, kebetulan saya membawa hasil ulangan Rini”, kata Ibu Yua sambil mengeluarkan selembar kertas. Terdapat angka 100 besar di pojok kanan atas, dilihatnya nama pemilik kertas tersebut, Rini Mauluda. Benar, itu milik Rini. Rini anakku, batinnya bangga. Dengan senyum di bibirnya, ia mengira-ngira apa yang anaknya pikirkan saat Ratri mendiamkannya malam itu. Pasti ia berpikir bahwa aku tak yakin dengan extrakurikulernya.
Pertunjukkan telah usai, semua pemain dijemput orangtua masing-masing. Hampir semua orang tua memuji penampilan anaknya. Itu pula yang Ratri lakukan. Sambil memeluk erat Rini yang telah berganti pakaian, ia memuji-muji kehebatan aktingnya.
“Penampilan yang sangat hebat”
“Trimakasih, Bu”
“Kamu telah berusaha, hal ini pantas dirayakan. Mari pulang, ibu akan masakkan masakan kesukaanmu” Dengan saling bergandengan tangan, mereka berjalan menuju rumah. Bagi Ratri, mungkin ada baiknya ia tak menceritakan tentang sifat egonya yang melarang Rini untuk tampil. Itulah pilihan yang bijak. 
SELESAI

karya:admin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

diperuntukan untuk semua kalangan-Kolom komentar ini disediakan untuk menambah pahala masing-masing: apabila menuliskan kata-kata terpuji dan tidak melanggar norma dan etika.